Jumat, 19 November 2010

fish

fish

<object type="application/x-shockwave-flash" style="outline:none;" data="http://hosting.gmodules.com/ig/gadgets/file/112581010116074801021/fish.swf?" width="300" height="200"><param name="movie" value="http://hosting.gmodules.com/ig/gadgets/file/112581010116074801021/fish.swf?"></param><param name="AllowScriptAccess" value="always"></param><param name="wmode" value="opaque"></param><param name="scale" value="noscale"/><param name="salign" value="tl"/></object>

Jumat, 12 November 2010

boys before flowers

CHAPTER   22   :   “ANAK – ANAK  INI  HEBAT !”
Di Pondok Kirrin terdengar Joan dan Anne terpekik-jerit pukul setengah empat pagi. Penyebabnya Julian beserta rombongan, yang tiba pada saat itu. Joan masih bangun. Tapi Anne sudah tidur. Ia tidur dalam kamar Joan, karena tidak mau sendiri. Sally juga ada di situ.
Anak-anak yang pulang, bercerita berganti-ganti. Mula-mula Dick, lalu Julian, kemudian George, dan setelah itu Jo. Mereka semua bicara tak henti-hentinya. Semua asyik dan bergembira. Sally lari mendatangi anak-anak silih berganti, lalu membututi Timmy. Tapi kadang-kadang ekornya sempat terkulai, yaitu apabila teringat bahwa Berta tidak ada di situ.
“He,” kata Dick kaget, ketika ia menyingkapkan tirai kamar duduk, “hari sudah pagi! Matahari sudah terbit! Padahal kusangka masih malam!”
“Kalau begitu tak ada gunanya masuk ke tempat tidur,” kata Jo dengan segera. Anak itu sangat senang bisa berkumpul sambil mengobrol dengan asyik, sehingga sayang rasanya kalau harus berhenti.
“Ya, kurasa memang percuma saja,” kata Joan. “Aku tahu apa yang kita lakukan sekarang! Kita sarapan – sepuas-puasnya untuk merayakan saat ini. Sesudah itu baru kita tidur, sampai saat makan siang. Sebetulnya kita capek – lihat saja lingkaran hitam di bawah mata, dan pipi yang pucat!”
“Anda cuma mengada-ada, kulit kami kan coklat kena sinar matahari!” kata George. “Yuk – kita mulai saja dengan pesta sarapan! Daging asin, telor, tomat, roti panggang. Ya, dan cendawan juga! Kita punya cendawan, Joan? Lalu kopi yang banyak sekali, serta roti dengan selai. Aduh, perutku terasa lapar sekali.”
Ternyata semua merasa lapar. Dua puluh menit kemudian, mereka sudah menghadapi meja makan, makan dengan lahap seperti sudah satu bulan tidak terisi perut mereka.
“Aku tidak bisa lagi,” kata Dick setelah beberapa saat, ”dan aku tak tahu ada apa dengan mataku – rasanya mau tertutup saja!”
“Mataku juga begitu,” kata George, lalu menguap lebar sekali. “Joan, kita kan tidak usah mencuci piring dulu?”
“Tentu saja tidak!” kata Joan. “Pergi saja sekarang ke kamar tidur masing-masing. Tidak perlu ganti pakaian lagi!”
“Aku merasa seperti masih ada sesuatu yang harus kulakukan – tapi aku tidak ingat apa itu,” kata Julian, sementara ia berjalan terhuyung-huyung naik tangga. “Aku – tidak – ingat!”
Di atas ia merebahkan diri ke tempat tidur. Begitu mencium bau bantal, langsung terlelap. Dalam dua menit, semuanya sudah tidur. Kecuali Joan. Ia masih memberi minum dulu pada Timmy. Timmy setelah itu naik ke tempat tidur George, lalu tidur pula di situ.
Joan membaringkan diri di tempat tidurnya. Maksudnya hendak beristirahat sebentar. Bukan untuk tidur!  Tapi tak sampai setengah detik, sudah terdengar dengkurannya.
Matahari makin lama makin tinggi di langit. Tukang susu datang sambil bersiul-siul. Ia meletakkan empat botol susu di depan pintu dapur. Burung camar di teluk terbang berputar dan menjulang tinggi, sambil berteriak-teriak ribut. Tapi di pondok Kirrin, semua tetap tidur nyenyak.
Sebuah mobil berhenti di dekat pintu halaman depan, diikuti sebuah mobil lain. Dari mobil depan keluar Paman Quentin, Bibi Fanny, Pak Elbur Wright – dan Berta! Sedang dari mobil kedua muncul sersan polisi beserta pembantunya.
Berta bergegas ke pintu depan rumah. Tapi pintu itu tertutup. Ia lantas lari mengitari rumah, menuju pintu yang menghadap ke kebun. Tapi pintu itu juga terkunci. Pintu dapur – sama saja!
“Pops! Kita terpaksa membunyikan bel – karena semua pintu terkunci!” seru Berta pada ayahnya. Detik berikutnya terdengar gonggongan anjing dari arah atas. Kepala Sally muncul dari balik jendela sebuah kamar tidur. Ketika anjing pudel itu melihat bahwa yang ada di bawah memang Berta, ia cepat-cepat lari menuruni tangga lalu menggaruk-garuk pintu depan.
“Apakah yang terjadi di sini? Semuanya ke mana?” tanya Bibi Fanny bingung. “Semua pintu terkunci? Sekarang kan sudah pukul sepuluh! Ke mana anak-anak?”
“Aku membawa anak kunci,” kata Paman Quentin, lalu memasukkannya ke lubang kunci pintu depan. Pintu terbuka – dan Sally langsung melompat masuk ke dalam pelukan Berta!
Bibi Fanny masuk sambil berseru-seru,
“Siapa yang ada di rumah?”
Tidak terdengar sama sekali. Timmy mendengar Bibi Fanny berseru. Tapi ia tidak berkutik di tempatnya, karena George juga tidak bergerak. Timmy tidak mau meninggalkan tuannya itu, biar hanya sebentar untuk menengok ke bawah!
Bibi Fanny memeriksa seluruh ruangan yang ada di tingkat bawah. Tapi tak ada yang dijumpainya! Ia heran melihat bekas sarapan berserakan di meja makan, begitu pula melihat panci-panci dan piring-piring kotor yang bertumpuk di dapur. Kenapa Joan begitu ceroboh? Dan ke mana sebetulnya mereka semua? Bibi Fanny tidak mengharapkan akan menjumpai George di situ, karena ia tahu anaknya itu diculik orang. Tapi yang lain-lain – kemana mereka semua?
Bibi Fanny naik ke tingkat atas, diikuti oleh Paman Quentin, Berta serta ayahnya. Semuanya terheran-heran. Mereka menuju ke kamar Julian – dan – astaga, di situ rupanya anak itu! Dan Dick juga ada. Keduanya terkapar di tempat tidur masing-masing, tidur nyenyak! Bibi Fanny benar-benar tidak bisa mengerti.
Kemudian ia pergi ke kamar anak-anak perempuan. Anne dilihatnya ada di situ, juga tidur nyenyak. Dan – MASYA ALLAH! Betulkah itu George? Tapi – tapi – George kan diculik orang? Lalu, kalau begitu…. Bagaimana …. dari mana….
Tiba-tiba Bibi Fanny merangkul anaknya yang masih tidur itu. George dipeluk dan diciumi. Bibi Fanny sangat cemas memikirkan nasib anaknya itu – dan sekarang ternyata George ada di rumah, dalam keadaan selamat!
George langsung terbangun. Ia duduk, sambil memandang orang tuanya dengan heran.
“Wah – kalian sudah kembali! Syukurlah! Kapan kalian datang?”
“Baru saja,” kata ibunya. “Tapi, George – kenapa semuanya tidur – dan bagaimana kau bisa kemari – kami kira kau  ….”
“Wah, Bu – ya, tentu saja ibu belum tahu,” kata George. “Eh, rupanya Berta juga ada di sini – begitu pula ayahmu, Berta! Apa kabar semuanya?”
George masih mengantuk sekali, sehingga tidak tahu pasti apakah saat itu sedang bermimpi atau tidak. Tapi waktu itu juga Anne terbangun, lalu langsung terpekik. Pekikannya membangunkan Dick dan Julian. Kedua anak itu bergegas datang ke kamar tidur sebelah yang sudah penuh sesak. Dengan segera suasana di situ bertambah ramai. Sebagai akibatnya Joan dan Jo yang tidur di tingkat paling atas, ikut pula terbangun.
Keduanya turun dengan tampang acak-acakan. Joan buru-buru minta maaf atas keteledorannya. Ia bergegas ke dapur untuk membikinkan kopi. Di serambi dalam ia hampir saja bertubrukan dengan kedua polisi yang juga datang. Joan menjerit kaget.
“Maaf,” kata sersan polisi padanya, ”apakah mereka yang di atas tidak bermaksud turun lagi? Kami bertugas menjaga Berta!”
“Astaga! Itu sudah tidak perlu lagi,” kata Joan. “Apakah Julian tidak menelepon kalian tadi malam – eh, maksudku pagi ini? Kusangka ia akan menelepon kalian!”
“Tentang apa?” tanya sersan.
“Tentang para penculik . Semua sudah beres,” kata Joan pada kedua polisi yang cuma bisa melongo. “Kami berhasil membebaskan George – lalu masih ada para penculik – eh, kalian belum diberitahu bahwa mereka sudah terkurung, dan tinggal kalian jemput saja?”
“Nanti dulu – Anda ini bicara tentang apa?” kata sersan dengan bingung. “Ini benar-benar keterlaluan! Apa maksud Anda – para penculik sudah terkurung, tinggal dijemput saja?”
“Julian!” seru Joan ke atas, “polisi ada di sini, dan kau lupa menelepon mereka untuk melaporkan kejadian kemarin malam. Tidakkah mereka sebaiknya pergi ke rumah itu, untuk meringkus para penculik?”
“Sudah kusangka bahwa aku melupakan sesuatu,” kata Julian sambil bergegas turun ke tingkat bawah. “Aku sebenarnya bermaksud hendak menelepon. Tapi kemudian lupa, karena terlalu capek.”
Setelah itu semuanya ikut turun, lalu pergi ke ruang duduk. Jo malu karena banyak orang di situ. Ia tidak mau duduk dekat kedua polisi itu.
“Baru saja saya dengar bahwa putri Anda tidak perlu dijaga lagi, Pak Wright,” kata sersan polisi dengan sikap agak kaku. “Rupa-rupanya pihak kepolisian selalu paling akhir mengetahui tentang apa saja!”
“Yah, sebetulnya kami berhasil mengetahui bahwa Gringo, pemilik Pekan Raya Gringo, dibayar orang untuk menculik Berta,” kata Julian. “Tapi yang diculik ternyata George, karena sesuatu kekeliruan. Kami berhasil menyelidiki ke mana George dibawa oleh Gringo, kemudian kemarin malam kami ke sana lalu membebaskannya. Teruskan, Dick!”
“Gringo dan seorang laki-laki kawannya kami kurung dalam sebuah kamar di tingkat dasar. Dua lagi dalam sebuah kamar di tingkat paling atas. Pintu depan kami biarkan terbuka untuk kalian. Begitu pula pintu gerbang depan,” kata Dick. “Jadi jangan terlalu jengkel, Pak – karena kami sudah sungguh-sungguh mempermudah tugas Anda! Soalnya kami sudah berhasil membebaskan George – nah, sekarang Anda bisa meringkus pada penculiknya!”
Dari tampang sersan polisi nampak bahwa ia sukar bisa percaya pada cerita itu. Paman Quentin lantas menepuk pundak orang itu.
“Cepatlah sedikit – jika Anda tidak bergegas ke sana, mungkin mereka akan bisa melarikan diri.”
“Alamatnya di mana?” tanya sersan, dengan sikap seperti tak peduli.
“Aku tidak tahu nama rumah itu, begitu pula nama jalannya,” kata Julian. “Tapi Anda terus saja lewat desa Twinning, lalu belok ke kiri. Rumah itu letaknya di atas bukit di dekat sana.”
“Dari mana kau mengetahui hal-hal ini?” tanya sersan lagi.
“Wah, ceritanya terlalu panjang – lebih baik jangan diceritakan sekarang,” kata Dick. “Kami akan menulis buku mengenainya. Kalau sudah terbit, satu jilid akan kami kirimkan pada Anda!”
“Aku ingin minum kopi,” kata Paman Quentin menyela pembicaraan itu. “Kurasa kita sudah cukup lama berbicara. Lebih baik kalian cepat-cepat saja pergi menangkap orang-orang itu, Pak!”
Kedua polisi itu berangkat. Pak Elbur Wright duduk dengan wajah berseri-seri, sambil memangku Berta.
“Nah, petualangan kalian berakhir dengan sangat menyenangkan,” katanya. “Dan Berta akan kubawa kembali.”
“Aduh, jangan!” keluh Berta. Ayahnya kaget mendengar reaksi anaknya itu.
“Kenapa jangan?” tanya Pak Elbur.
“Pops, ijinkanlah aku tinggal beberapa lama lagi di sini,” kata Berta meminta-minta. “Anak-anak ini hebat!”
“Tentu  saja ia bisa tinggal di sini, kalau dia kepingin,” kata Bibi Fanny. “Tapi sekarang sebagai anak perempuan, dan bukan menyamar menjadi anak laki-laki lagi!”
George menarik napas lega. Kalau begitu, beres! Ia tidak berkeberatan terhadap Berta selaku anak perempuan – biarpun anak perempuan yang konyol!
Tiba-tiba semuanya kaget, karena Timmy menggonggong.
“Timmy bilang ia senang sekali kau tetap di sini, Berta – karena dengan begitu Sally juga akan tinggal,” kata Dick. “Jadi dia pun punya teman bermain!”
“Eh, Dick – betulkah kita akan menulis buku tentang pengalaman ini?” tanya Anne. “Aku bersungguh-sungguh?”
“Tentu saja,” jawab Dick santai.
Dan buktinya – kalian baru saja menamatkan kisah petualangan mereka!
T H E    E N D